Meluruskan Jalan Reformasi dengan Pancasila?
TANGGAL 19 Desember 2003, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, merayakan Dies Natalis Ke-54. Sebagai rangkaian perayaan diesnya, akhir September lalu digelar seminar nasional tentang "Meluruskan Jalan Reformasi" selama tiga hari di Kampus UGM, yang menghadirkan sejumlah pakar dan praktisi dari seluruh Indonesia. Hasil seminar itu akan disosialisasikan dengan melibatkan berbagai perguruan tinggi lain pada awal tahun 2004. Berikut catatan dari upaya meluruskan jalan reformasi -- yang sudah berlangsung lima tahun lebih tersebut Negara tak mungkin kembali diutuhkan, tanpa rakyatnya
dimanusiakan Dan, manusia tak mungkin menjadi manusia, tanpa dihidupkan hati nuraninya Hati nurani adalah hakim adil, untuk diri kita sendiri. Hati nurani adalah sendi dari kesadaran akan kemerdekaan pribadi Dengan puisi ini aku bersaksi, bahwa hati nurani itu mesti dibakar, tidak bisa menjadi abu. Hati nurani senantiasa bisa bersemi, meski sudah ditebang putus di batang. Begitulah fitrah manusia, ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.… BUKAN tanpa maksud jika dalam pemaparan pemikirannya mengenai kondisi bangsa ini, khususnya mengenai jalannya reformasi selama lima tahun terakhir, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Ahmad Syafii Maarif mengutip puisi berjudul Kesaksian Akhir Abad karya WS Rendra tersebut. Dalam puisi itu jelas tergambarkan, jika sebuah bangsa ingin kembali jaya, reformasi bisa kembali ke "jalan" seperti yang dikehendaki sedari awal, kuncinya hanya satu. Kembali pada hati nurani. DALAM konteks kebangsaan, kembali pada nurani ini diartikan Syafii dengan kembali pada ideologi yang sudah disepakati bersama, yakni Pancasila. Tetapi, bukan sekadar Pancasila, melainkan Pancasila yang disinari dengan nilai agama dan tidak lagi dikhianati dalam perbuatan. "Barangkali dengan cara ini cita-cita reformasi dapat diluruskan dan masa depan bangsa ini akan terselamatkan," kata Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tersebut. Pancasila sebagai jawaban? Seorang peserta seminar "Meluruskan Jalan Reformasi" memang sempat mempertanyakan lontaran Syafii Maarif tersebut. Alasannya, kondisi bangsa yang terpuruk selama ini tidak bisa dilepaskan dari "peran" ideologi Pancasila. Secara mudah, Pancasila sebagai ideologi ternyatamenurut peserta itu-tak mampu membawa bangsa ini dalam keadilan dan kemakmuran, seperti yang ditegaskan dalam sila kedua maupun kelima. Bahkan, tidak mampu menjaga persatuan Indonesia. Syafii mengakui, Pancasila untuk meluruskan kembali jalan reformasi memang bukan jawaban yang seksi, yang membuat semua orang lantas langsung menerimanya. Tetapi, berbicara tentang ideologi, mau tidak mau harus mengacu pada Pancasila karena inilah yang sampai kini disepakati bersama bangsa ini. Rumusan Pancasila sebagai dasar filosofi dan sekaligus sumber ideologi negara Indonesia sebenarnya cukup mantap secara teoretik konstitusional. Kemasan formulasi Pancasila yang singkat, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan, adalah sebuah kreasi agung yang pernah diciptakan pendiri negara ini. "Tetapi, mengapa dasar filosofi yang dahsyat ini gagal diterjemahkan untuk mencapai tujuan kemerdekaan, berupa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Jawabnya sederhana, yaitu Pancasila diagungkan dalam teori dan penataran, tetapi dikhianati dan dilecehkan dalam perilaku dan perbuatan. Tidak terkecuali oleh sebagian pemimpin puncak yang pernah atau turut berkuasa pada periode pascaproklamasi," ujar Syafii. Bahkan, Syafii mengkritik mereka yang menyalahkan Pancasila sebagai penyebab bangsa ini menjadi terpuruk dan reformasi jalan di tempat, untuk tidak mengatakan menyimpang atau bahkan mati muda. "Ada ketidakjujuran pada sebagian orang yang serta-merta menyalahkan Pancasila sebagai yang tidak layak lagi sebagai dasar dan ideologi negara, lalu dicari-cari dasar dan ideologi lain, agama atau sekuler sama sekali. Ini sikap yang ahistoris," ucapnya menandaskan. Menurut Syafii, sebenarnya yang terjadi di lapangan adalah pengkhianatan besar-besaran terhadap roh dan nilai luhur Pancasila. Inilah di antara tragedi yang menyakitkan yang lahir dari sejarah modern Indonesia. Pengkhianatan itu juga tampak dari sikap serta kelakuan penatar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dahulu, yang selalu membenarkan sikap penguasa, tanpa daya kritis. Akibatnya, dusta dan dosa kolektif mendapatkan legitimasi ideologis. "Fenomena ini masih akan berulang pada masa selanjutnya, selama kita masih berlapang dada terhadap unsur kultur semifeodal dan otoritarian yang tidak memberikan kemerdekaan pribadi kepada rakyat. Dalam kultur semifeodal, kebenaran selalu ditentukan oleh yang berkuasa. Sesuatu yang sebenarnya hendak dilawan oleh gerakan reformasi," kata Syafii, yang juga sejarawan. Sikap pemimpin yang tidak bersedia mengakui kesalahannya, sampai saat ini masih berlangsung, telah menempatkan kita semua pada posisi yang serba gamang dan dilematis. Apalagi sikap itu juga mempunyai pendukung di kalangan rakyat. Di sini berlaku ungkapan, pemimpin tidak pernah bersalah atau melakukan kesalahan. Kultur politik Indonesia modern sampai hari ini tampaknya masih belum mampu membebaskan diri dari pasungan sisa feodalisme yang menghambat tegaknya sebuah bangunan demokrasi yang sehat dan kuat. Dalam kultur yang semifeodal itu, lanjut Syafii, Pancasila-khususnya Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan-tidak mempunyai ruang gerak bebas dan rasional untuk berkembang secara wajar dan alamiah. Secara historis, sila keempat ini tidak lain dari konsep kedaulatan rakyat. Tetapi, selama ini dan di masa lalu sering kali prinsip kedaulatan rakyat ini dikebiri. Bahkan, Pancasila dikurung dalam mitologi dewa-raja. "Mengubah bangunan sebuah kultur feodal yang sudah berusia berabad-abad ini jelas tidak mudah. Tetapi, kerja keras harus kita lakukan. Dalam perspektif inilah sebenarnya pendidikan kita harus dibenahi secara besar-besaran. Selama ini pendidikan nasional kita lebih banyak mencetak manusia dengan mentalitas setengah terjajah melalui berbagai indoktrinasi yang mematikan kemerdekaan diri. Tegasnya, Pancasila harus dibebaskan total dari kultur politik dewa-raja yang tidak menghargai martabat rakyat," ungkap Syafii lagi. Sependapat dengan Syafii, cendekiawan Muslim Prof Dr Nurcholis Madjid dan cendekiawan Katolik Prof Dr Mudji Sutrisno pun menyebutkan, Pancasila bisa menjadi kunci untuk meluruskan kembali jalannya reformasi. Kembali mengarahkan bangsa ini menuju ke kemuliaan dan kemakmuran. Sebab, menurut Nurcholis, Pancasila bukanlah ideologi yang ditemukan by accident. pancasila merupakan bagian dari kehidupan bangsa ini. "Pancasila sebagai ideologi bisa menjadi jawaban, asalkan ditafsirkan secara kultural. Bukan ditafsirkan dalam jangka pendek untuk kepentingan politik. Selama ini Pancasila ditafsirkan dalam kerangka kepentingan politik," ingat Mudji Sutrisno. Prof Dr Toeti Heraty Noerhadi dari Universitas Indonesia pun menambahkan, ideologi yang dibutuhkan untuk meluruskan jalan reformasi adalah ideologi yang multikultural dan kerakyatan, moral religius dan kepedulian, serta pendidikan demokratis dan integritas. Suatu rumus yang simplistik, tetapi hanya inilah yang sementara dimungkinkan dan sifatnya multidisiplin. Ia pun tak keberatan jika tawaran ideologinya itu tak berbeda dengan Pancasila. IDEOLOGI Pancasila sebagai jawaban untuk meluruskan kembali jalan reformasi tidak sebatas ideologi. Sebab, menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta, Prof Dr Mubyarto, Pancasila pun sudah mewarnai sistem ekonomi yang sesungguhnya dirasakan paling tepat untuk mengendalikan sistem perekonomian di negeri ini. Sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi etik yang pernah didambakan Prof Ace Partadirdja, yaitu sistem ekonomi yang didasarkan pada nilai budaya dan ideologi bangsa Indonesia, ialah Pancasila. "Pengalaman pahit krisis moneter mulai tahun 1997 meyakinkan kita semua betapa besar arti perekonomian nasional yang benar-benar mandiri. Ekonomi mandiri adalah ekonomi yang meskipun tumbuh dengan laju relatif rendah, tetapi dalam jangka panjang terjaga keberlanjutannya," ungkap Mubyarto. Kegagalan Indonesia membangun ekonomi yang berkeadilan-ekonomi Pancasiladisebabkan kegagalan "budayawan" kita mempengaruhi sukma pembangunan ekonomi negeri ini yang sudah terlalu berat ditekankan pada pembangunan materi. Selama pemerintahan Orde Baru yang bertekad melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 secara murni dan konsekuen, kata Mubyarto, memang ada keinginan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan keadilan sosial. Tetapi, keinginan itu tidak pernah terwujud karena strategi pembangunan dan politik ekonomi yang dikembangkan didasarkan pada liberalisme. Seperti biasa, persaingan pasar yang liberal selalu dimenangi oleh yang kuat (konglomerat) dan melunglaikan yang lemah. Kondisi ini pernah dikritik oleh Muhammad Hatta. Walaupun Presiden Soeharto-saat itu-dalam pidatonya selalu menyebutkan tekad untuk memajukan ekonomi Pancasila, tetapi tegas Mubyarto, keinginan mewujudkan ekonomi Pancasila itu tidak pernah kesampaian. Bahkan, bukan hanya tak mewujud, melainkan sistem ekonomi yang dikembangkan semakin jauh dari cita-cita ekonomi Pancasila sehingga akhirnya meledak dalam bentuk krisis moneter. "Pemikiran kembali ke ekonomi Pancasila yang tertunda selama 16 tahun (1981- 1997) terbukti sangat terlambat. Tercemarlah nama Pancasila dan ekonomi Pancasila sehingga orang cenderung alergi dengan istilah ini. Secara keliru, orang beranggapan munculnya berbagai masalah sosial, ekonomi, dan budaya yang bermuara pada krisis moneter adalah justru karena Indonesia telah melaksanakan sistem ekonomi Pancasila. Kesalahkaprahan ini harus diluruskan," ungkap Mubyarto lagi. Ekonomi Pancasila, menurut Mubyarto, bukanlah sistem ekonomi baru yang hendak diciptakan untuk mengganti sistem ekonomi yang kini dianut bangsa ini. Bibit sistem ekonomi Pancasila sudah ada dan sudah dilaksanakan sebagian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pedesaan dalam bentuk usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Mengapa praktik kehidupan riil dan kegiatan ekonomi rakyat yang mengacu pada sistem ekonomi Pancasila ini terseok-seok? "Alasannya jelas, karena politik ekonomi yang dijalankan pemerintah bersifat liberal dan berpihak pada konglomerat," ujarnya. Sistem ekonomi Pancasila berpihak pada ekonomi rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan merupakan subsistem dari sistem ekonomi Pancasila yang diragukan oleh teknokrat yang terlalu silau dengan sistem ekonomi kapitalis liberal. Dan, memang masih diperlukan "perjuangan" untuk mewujudkan sistem ekonomi Pancasila tersebut. PANCASILA memang ditawarkan sebagai "kompas" untuk meluruskan kembali jalannya reformasi. Tetapi, yang ditawarkan adalah Pancasila yang direvitalisasi sebagai landasan ideologis berbangsa yang terbuka dengan tafsiran multikultural dan berasas kerakyatan. Bukan politik dan penyeragaman. Pancasila "baru" ini didukung dengan pengembangan moral melalui pendidikan yang dilandasi kepedulian religius dan pragmatis, sistem pendidikan yang demokratis dan bermartabat, pengembangan intelektual dan massa dalam platform yang jelas di atas nilai yang telah dirintis pendiri bangsa ini. Terkait dengan pendidikan ini, sila pertama Pancasila memang menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi, Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Prof Dr Musa Asy’arie menyayangkan sistem pendidikan agama di sekolah kita yang justru cenderung mengajarkan agama yang antirealitas. Agama tidak diajarkan untuk menjawab dan merespons realitas bahwa kita adalah Bhinneka Tunggal Ika. "Realitas plural dalam kehidupan agama, baik secara internal dalam kehidupan agama itu maupun secara eksternal dalam kaitan dengan agama lain, kurang mendapat perhatian memadai dalam pengajaran dan pendidikan agama, baik dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai perguruan tinggi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama," ungkap Musa memaparkan. Akibatnya, realitas plural kehidupan agama kurang berfungsi sebagai tali pengikat persatuan bangsa. Pluralitas yang seharusnya bisa menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling menghormati, mau belajar memahami sesama pemeluk agama, serta membangun kerja sama konstruktif untuk memajukan peradaban bangsa, bergeser menjadi sumber konflik yang tak ada habis-habisnya. Persaudaraan agama di negeri ini menjadi mudah retak. Pendidikan sekolah, lanjutnya, harus dikembalikan pada realitas dinamika masyarakatnya. Bukan menjadi menara gading yang tercabut dari akar kehidupan masyarakatnya sendiri. Pendidikan sekolah bukan untuk mengajarkan mimpi dan antirealitas, melainkan harus menjadi bagian yang sah dari realitas hidup masyarakatnya untuk mencari jawab atas proses dialektik yang terus bergolak dalam kehidupan. Pendidikan harus menjadi praktik hidup yang mempunyai resonansi sosial. MUNGKIN memang Pancasila menjadi jawaban untuk meluruskan jalan reformasi. Tetapi, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan agar Pancasila itu benar-benar mampu menjadi jawaban. Perlu perjuangan yang panjang dan tak sekadar menelan mentah Pancasila dengan lauk kepentingan politik jangka pendek. Seperti diingatkan Soekarno, penggali Pancasila, dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945. "Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, …janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang. Nanti kita bersama- sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila."
dimanusiakan Dan, manusia tak mungkin menjadi manusia, tanpa dihidupkan hati nuraninya Hati nurani adalah hakim adil, untuk diri kita sendiri. Hati nurani adalah sendi dari kesadaran akan kemerdekaan pribadi Dengan puisi ini aku bersaksi, bahwa hati nurani itu mesti dibakar, tidak bisa menjadi abu. Hati nurani senantiasa bisa bersemi, meski sudah ditebang putus di batang. Begitulah fitrah manusia, ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.… BUKAN tanpa maksud jika dalam pemaparan pemikirannya mengenai kondisi bangsa ini, khususnya mengenai jalannya reformasi selama lima tahun terakhir, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Ahmad Syafii Maarif mengutip puisi berjudul Kesaksian Akhir Abad karya WS Rendra tersebut. Dalam puisi itu jelas tergambarkan, jika sebuah bangsa ingin kembali jaya, reformasi bisa kembali ke "jalan" seperti yang dikehendaki sedari awal, kuncinya hanya satu. Kembali pada hati nurani. DALAM konteks kebangsaan, kembali pada nurani ini diartikan Syafii dengan kembali pada ideologi yang sudah disepakati bersama, yakni Pancasila. Tetapi, bukan sekadar Pancasila, melainkan Pancasila yang disinari dengan nilai agama dan tidak lagi dikhianati dalam perbuatan. "Barangkali dengan cara ini cita-cita reformasi dapat diluruskan dan masa depan bangsa ini akan terselamatkan," kata Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) tersebut. Pancasila sebagai jawaban? Seorang peserta seminar "Meluruskan Jalan Reformasi" memang sempat mempertanyakan lontaran Syafii Maarif tersebut. Alasannya, kondisi bangsa yang terpuruk selama ini tidak bisa dilepaskan dari "peran" ideologi Pancasila. Secara mudah, Pancasila sebagai ideologi ternyatamenurut peserta itu-tak mampu membawa bangsa ini dalam keadilan dan kemakmuran, seperti yang ditegaskan dalam sila kedua maupun kelima. Bahkan, tidak mampu menjaga persatuan Indonesia. Syafii mengakui, Pancasila untuk meluruskan kembali jalan reformasi memang bukan jawaban yang seksi, yang membuat semua orang lantas langsung menerimanya. Tetapi, berbicara tentang ideologi, mau tidak mau harus mengacu pada Pancasila karena inilah yang sampai kini disepakati bersama bangsa ini. Rumusan Pancasila sebagai dasar filosofi dan sekaligus sumber ideologi negara Indonesia sebenarnya cukup mantap secara teoretik konstitusional. Kemasan formulasi Pancasila yang singkat, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan, adalah sebuah kreasi agung yang pernah diciptakan pendiri negara ini. "Tetapi, mengapa dasar filosofi yang dahsyat ini gagal diterjemahkan untuk mencapai tujuan kemerdekaan, berupa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Jawabnya sederhana, yaitu Pancasila diagungkan dalam teori dan penataran, tetapi dikhianati dan dilecehkan dalam perilaku dan perbuatan. Tidak terkecuali oleh sebagian pemimpin puncak yang pernah atau turut berkuasa pada periode pascaproklamasi," ujar Syafii. Bahkan, Syafii mengkritik mereka yang menyalahkan Pancasila sebagai penyebab bangsa ini menjadi terpuruk dan reformasi jalan di tempat, untuk tidak mengatakan menyimpang atau bahkan mati muda. "Ada ketidakjujuran pada sebagian orang yang serta-merta menyalahkan Pancasila sebagai yang tidak layak lagi sebagai dasar dan ideologi negara, lalu dicari-cari dasar dan ideologi lain, agama atau sekuler sama sekali. Ini sikap yang ahistoris," ucapnya menandaskan. Menurut Syafii, sebenarnya yang terjadi di lapangan adalah pengkhianatan besar-besaran terhadap roh dan nilai luhur Pancasila. Inilah di antara tragedi yang menyakitkan yang lahir dari sejarah modern Indonesia. Pengkhianatan itu juga tampak dari sikap serta kelakuan penatar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dahulu, yang selalu membenarkan sikap penguasa, tanpa daya kritis. Akibatnya, dusta dan dosa kolektif mendapatkan legitimasi ideologis. "Fenomena ini masih akan berulang pada masa selanjutnya, selama kita masih berlapang dada terhadap unsur kultur semifeodal dan otoritarian yang tidak memberikan kemerdekaan pribadi kepada rakyat. Dalam kultur semifeodal, kebenaran selalu ditentukan oleh yang berkuasa. Sesuatu yang sebenarnya hendak dilawan oleh gerakan reformasi," kata Syafii, yang juga sejarawan. Sikap pemimpin yang tidak bersedia mengakui kesalahannya, sampai saat ini masih berlangsung, telah menempatkan kita semua pada posisi yang serba gamang dan dilematis. Apalagi sikap itu juga mempunyai pendukung di kalangan rakyat. Di sini berlaku ungkapan, pemimpin tidak pernah bersalah atau melakukan kesalahan. Kultur politik Indonesia modern sampai hari ini tampaknya masih belum mampu membebaskan diri dari pasungan sisa feodalisme yang menghambat tegaknya sebuah bangunan demokrasi yang sehat dan kuat. Dalam kultur yang semifeodal itu, lanjut Syafii, Pancasila-khususnya Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan-tidak mempunyai ruang gerak bebas dan rasional untuk berkembang secara wajar dan alamiah. Secara historis, sila keempat ini tidak lain dari konsep kedaulatan rakyat. Tetapi, selama ini dan di masa lalu sering kali prinsip kedaulatan rakyat ini dikebiri. Bahkan, Pancasila dikurung dalam mitologi dewa-raja. "Mengubah bangunan sebuah kultur feodal yang sudah berusia berabad-abad ini jelas tidak mudah. Tetapi, kerja keras harus kita lakukan. Dalam perspektif inilah sebenarnya pendidikan kita harus dibenahi secara besar-besaran. Selama ini pendidikan nasional kita lebih banyak mencetak manusia dengan mentalitas setengah terjajah melalui berbagai indoktrinasi yang mematikan kemerdekaan diri. Tegasnya, Pancasila harus dibebaskan total dari kultur politik dewa-raja yang tidak menghargai martabat rakyat," ungkap Syafii lagi. Sependapat dengan Syafii, cendekiawan Muslim Prof Dr Nurcholis Madjid dan cendekiawan Katolik Prof Dr Mudji Sutrisno pun menyebutkan, Pancasila bisa menjadi kunci untuk meluruskan kembali jalannya reformasi. Kembali mengarahkan bangsa ini menuju ke kemuliaan dan kemakmuran. Sebab, menurut Nurcholis, Pancasila bukanlah ideologi yang ditemukan by accident. pancasila merupakan bagian dari kehidupan bangsa ini. "Pancasila sebagai ideologi bisa menjadi jawaban, asalkan ditafsirkan secara kultural. Bukan ditafsirkan dalam jangka pendek untuk kepentingan politik. Selama ini Pancasila ditafsirkan dalam kerangka kepentingan politik," ingat Mudji Sutrisno. Prof Dr Toeti Heraty Noerhadi dari Universitas Indonesia pun menambahkan, ideologi yang dibutuhkan untuk meluruskan jalan reformasi adalah ideologi yang multikultural dan kerakyatan, moral religius dan kepedulian, serta pendidikan demokratis dan integritas. Suatu rumus yang simplistik, tetapi hanya inilah yang sementara dimungkinkan dan sifatnya multidisiplin. Ia pun tak keberatan jika tawaran ideologinya itu tak berbeda dengan Pancasila. IDEOLOGI Pancasila sebagai jawaban untuk meluruskan kembali jalan reformasi tidak sebatas ideologi. Sebab, menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta, Prof Dr Mubyarto, Pancasila pun sudah mewarnai sistem ekonomi yang sesungguhnya dirasakan paling tepat untuk mengendalikan sistem perekonomian di negeri ini. Sistem ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi etik yang pernah didambakan Prof Ace Partadirdja, yaitu sistem ekonomi yang didasarkan pada nilai budaya dan ideologi bangsa Indonesia, ialah Pancasila. "Pengalaman pahit krisis moneter mulai tahun 1997 meyakinkan kita semua betapa besar arti perekonomian nasional yang benar-benar mandiri. Ekonomi mandiri adalah ekonomi yang meskipun tumbuh dengan laju relatif rendah, tetapi dalam jangka panjang terjaga keberlanjutannya," ungkap Mubyarto. Kegagalan Indonesia membangun ekonomi yang berkeadilan-ekonomi Pancasiladisebabkan kegagalan "budayawan" kita mempengaruhi sukma pembangunan ekonomi negeri ini yang sudah terlalu berat ditekankan pada pembangunan materi. Selama pemerintahan Orde Baru yang bertekad melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 secara murni dan konsekuen, kata Mubyarto, memang ada keinginan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan keadilan sosial. Tetapi, keinginan itu tidak pernah terwujud karena strategi pembangunan dan politik ekonomi yang dikembangkan didasarkan pada liberalisme. Seperti biasa, persaingan pasar yang liberal selalu dimenangi oleh yang kuat (konglomerat) dan melunglaikan yang lemah. Kondisi ini pernah dikritik oleh Muhammad Hatta. Walaupun Presiden Soeharto-saat itu-dalam pidatonya selalu menyebutkan tekad untuk memajukan ekonomi Pancasila, tetapi tegas Mubyarto, keinginan mewujudkan ekonomi Pancasila itu tidak pernah kesampaian. Bahkan, bukan hanya tak mewujud, melainkan sistem ekonomi yang dikembangkan semakin jauh dari cita-cita ekonomi Pancasila sehingga akhirnya meledak dalam bentuk krisis moneter. "Pemikiran kembali ke ekonomi Pancasila yang tertunda selama 16 tahun (1981- 1997) terbukti sangat terlambat. Tercemarlah nama Pancasila dan ekonomi Pancasila sehingga orang cenderung alergi dengan istilah ini. Secara keliru, orang beranggapan munculnya berbagai masalah sosial, ekonomi, dan budaya yang bermuara pada krisis moneter adalah justru karena Indonesia telah melaksanakan sistem ekonomi Pancasila. Kesalahkaprahan ini harus diluruskan," ungkap Mubyarto lagi. Ekonomi Pancasila, menurut Mubyarto, bukanlah sistem ekonomi baru yang hendak diciptakan untuk mengganti sistem ekonomi yang kini dianut bangsa ini. Bibit sistem ekonomi Pancasila sudah ada dan sudah dilaksanakan sebagian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pedesaan dalam bentuk usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Mengapa praktik kehidupan riil dan kegiatan ekonomi rakyat yang mengacu pada sistem ekonomi Pancasila ini terseok-seok? "Alasannya jelas, karena politik ekonomi yang dijalankan pemerintah bersifat liberal dan berpihak pada konglomerat," ujarnya. Sistem ekonomi Pancasila berpihak pada ekonomi rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan merupakan subsistem dari sistem ekonomi Pancasila yang diragukan oleh teknokrat yang terlalu silau dengan sistem ekonomi kapitalis liberal. Dan, memang masih diperlukan "perjuangan" untuk mewujudkan sistem ekonomi Pancasila tersebut. PANCASILA memang ditawarkan sebagai "kompas" untuk meluruskan kembali jalannya reformasi. Tetapi, yang ditawarkan adalah Pancasila yang direvitalisasi sebagai landasan ideologis berbangsa yang terbuka dengan tafsiran multikultural dan berasas kerakyatan. Bukan politik dan penyeragaman. Pancasila "baru" ini didukung dengan pengembangan moral melalui pendidikan yang dilandasi kepedulian religius dan pragmatis, sistem pendidikan yang demokratis dan bermartabat, pengembangan intelektual dan massa dalam platform yang jelas di atas nilai yang telah dirintis pendiri bangsa ini. Terkait dengan pendidikan ini, sila pertama Pancasila memang menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi, Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Prof Dr Musa Asy’arie menyayangkan sistem pendidikan agama di sekolah kita yang justru cenderung mengajarkan agama yang antirealitas. Agama tidak diajarkan untuk menjawab dan merespons realitas bahwa kita adalah Bhinneka Tunggal Ika. "Realitas plural dalam kehidupan agama, baik secara internal dalam kehidupan agama itu maupun secara eksternal dalam kaitan dengan agama lain, kurang mendapat perhatian memadai dalam pengajaran dan pendidikan agama, baik dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai perguruan tinggi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama," ungkap Musa memaparkan. Akibatnya, realitas plural kehidupan agama kurang berfungsi sebagai tali pengikat persatuan bangsa. Pluralitas yang seharusnya bisa menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling menghormati, mau belajar memahami sesama pemeluk agama, serta membangun kerja sama konstruktif untuk memajukan peradaban bangsa, bergeser menjadi sumber konflik yang tak ada habis-habisnya. Persaudaraan agama di negeri ini menjadi mudah retak. Pendidikan sekolah, lanjutnya, harus dikembalikan pada realitas dinamika masyarakatnya. Bukan menjadi menara gading yang tercabut dari akar kehidupan masyarakatnya sendiri. Pendidikan sekolah bukan untuk mengajarkan mimpi dan antirealitas, melainkan harus menjadi bagian yang sah dari realitas hidup masyarakatnya untuk mencari jawab atas proses dialektik yang terus bergolak dalam kehidupan. Pendidikan harus menjadi praktik hidup yang mempunyai resonansi sosial. MUNGKIN memang Pancasila menjadi jawaban untuk meluruskan jalan reformasi. Tetapi, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan agar Pancasila itu benar-benar mampu menjadi jawaban. Perlu perjuangan yang panjang dan tak sekadar menelan mentah Pancasila dengan lauk kepentingan politik jangka pendek. Seperti diingatkan Soekarno, penggali Pancasila, dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945. "Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu menjadi satu realiteit, …janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang. Nanti kita bersama- sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila."
(Kompas, Sabtu, 13 Desember 2003)
0 komentar:
Posting Komentar